Siapa yang pernah siap
menghadapi seorang teman—atau bahkan siapapun—bertamu dengan penuh darah
diseluruh tubuhnya? Di hadapanku, ia ada. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tidak
seluruhnya. Wajahnya tidak penuh darah, hanya darah kering di sisi pelipisnya.
Tapi selain itu aku tidak mengada-ngada. Badannya yang berbalut kaus dan rok
bunga-bunga selutut memang penuh merah. Matanya kosong namun liar melirik sana
sini. Kemudian menatapku dengan tatapan memelas. Giginya bergemerutuk, kedua tangannya
menggenggam kuat sebuah tas besar hitam bercampur merah pekat. Bau anyir darah
menguar kuat dari tas itu dan badannya. Aku menahan pekik dengan kedua
tanganku. Napasku tertahan. Aku menariknya masuk melewati pintu dengan mata
awas dan gerak cepat.
Entah bagaimana bentuknya tatapanku
dan ekspresi wajahku ini tertangkap oleh mata kosongnya. Tubuhku menjelma kaku.
Kemudian napasku patah-patah. Apa yang harus kulakukan?
“Ra, bantu aku!” airmatanya luruh.
Aku masih kaku.
Siapa yang pernah siap menghadapi
seorang teman yang datang dengan darah di seluruh tubuhnya?
***
Aku tidak pernah setuju
dengan orang-orang yang selalu menakuti malam dan gelap. Tapi, nampaknya malam
ini aku harus setuju dengan orang-orang yang takut akan malam. Malam ini, ketika
pemukiman sudah benar-benar senyap. Rambut-rambut halus ditubuhku meremang.
Malam ini temanku sendiri menyeret sebuah tas besar kedalam rumahku. Lantai putihku
kini berbalut merah darah.
Ia masih terisak sambil terus
berkata, “Bantu aku, Ra”
“A.. ad. ada apa? Apa yang terjadi,
Wi?” aku mulai memberanikan diriku bertanya setelah mendudukan Dewi pada kursi
kayu di ruang tamu. Butuh keberanian untuk mendudukan seseorang penuh darah di
rumah yang hanya tinggal aku seorang diri. Tapi, otakku terlalu beku untuk
memikirkan hal lain.
Ia masih terisak.
Sambil menunggu jawabannya. Aku
mengatur napasku, juga mengatur kisruh dalam ruang-ruang kepalaku. Kisruhkah
juga pikiranmu, Wi?
“Aku kena kutukan, Ra!” Dewi kemudian
berkata dengan suara yang begitu pilu. Badan ringkihnya berguncang-guncang.
Mataku melebar. Sesekali aku melirik
pada tas besar hitam yang Dewi bawa. Noda darah merah tua terlihat merembesi
tasnya. Kebingungan—lebih tepatnya
ketakutan—telah meringkusku seketika. “Kutukan? Maksudmu, Wi?”
Aku berharap aku tidak bertanya
padanya, jika ternyata jawabannya akan begitu semengerikan ini, “Aku dirasuki,
Ra! Aku sepertinya membunuh seseorang. Aku tidak tahu siapa. Aku tidak ingat.
Tapi ketika aku sadar. Aku sudah berdiri memegang golok penuh darah. Ada sesosok
mayat di hadapanku sudah terpotong-potong…” Ia membekap mulutnya sambil terus
sesenggukan.
“Aku berteriak. Tapi tidak ada
seorangpun di rumahku. Aku takut, Ra. Aku takut,” Matanya makin membelalak.
Kedua tangannya mendekap dirinya sendiri. Mencoba untuk menahan guncangan
tubuhnya yang semakin menjadi-jadi, “Aku bingung. Aku.. Aku.. Aku menyimpan
potongan tubuh mayat itu kedalam tas. Aku bingung harus kemana. Tanpa sadar aku
sudah sampai di rumahmu dengan membawa tas ini. tolong aku! Apa yang harus aku
lakukan! Jangan laporkan aku! Tolong! Aku bukan pembunuh”
Ia mulai berteriak histeris dan
begitu memilukan. Aku menutup mulutku. Kemudian tidak sadar tubuhku ikut
berguncang hebat. Air mataku kemudian mengalir. Aku mengunci Dewi dalam
dekapanku takut-takut. Satu sisi hatiku berteriak segera kabur dan menjauhi
rumah itu, satu sisi lainnya tidak ingin meninggalkan Dewi yang kebingungan dan
ketakutan. Entah mana yang harus aku percaya.
Mulut yang sedari tadi kusumpal diam,
entah bagaimana kemudian mengeluarkan suara penuh getar, “Wi, mungkin kamu
bukan kerasukan. Mungkin ini tentang jiwamu. Kamu mungkin sudah benar-benar
membunuh.”Aku teringat kasus-kasus kejiwaan di film-film. Kepribadian ganda, sleep disorder, dan kasus lainnya. Tidak
ada lagi logika selain itu. Terlebih logika kerasukan yang entah dari mana
datangnya.
“Maafkan aku, Wi. Kita harus segera
lapor polisi. Tas mayat ini harus segera disingkirkan.” Aku masih memeluknya
takut-takut. Berharap ia tenang dan tidak menggila disini. Aku tidak bisa
menerima mayat dan pembunuhnya begitu saja di rumah, kan? Sekalipun itu Dewi. Ini
harus segera dilaporkan, bukan? Pikiranku terus kisruh. Jantungku berdebum
begitu keras. Kemudian aku merasakan tubuh dewi yang berhenti berguncang
seketika. Ia melepaskan diri dari dekapanku dan menatapku dengan tatapan
tombak. Aku beku.
****
Malam itu bahkan benda langit pun ragu menyaksikan suasana pilu di bawahnya. Seorang anak perempuan
dengan rok bunga-bunga kini menyeret dua tas besar dengan aroma darah melewati
jalan aspal di tengah pemukiman yang sepi—yang orang-orangnya sudah terlelap,
yang petugas rondanya sedang sibuk tidur atau mungkin tertutup pandangannya
oleh asap-asap rokok dan kartu-kartu remi.
Wajah Dewi—perempuan itu—begitu pucat
seolah-olah cahaya wajahnya telah dicabut paksa. Mungkin bukan karena darah di
sekujur tubuhnya, atau kemungkinan bahwa dirinya telah memotong-motong tubuh
manusia. Tapi, mungkin karena tidak ada yang mau percaya pada dirinya. Bahkan temannya
sendiri. Bahkan dirinya sendiri.
Perempuan dengan rok bunga-bunga merah
pekat itu menyeret dua tas besar aroma darah, salah satunya adalah mayat dari
rumah yang tadi ia datangi, menuju rumah lain.
Tidak ada yang pernah siap menyambut teman
yang penuh darah. Tapi, bukankah selalu
ada tempat bagi tiap jiwa, Pikir perempuan itu.
Siapa yang pernah siap menghadapi
seorang teman yang datang dengan penuh darah diseluruh tubuhnya? Kali ini
ditambah dua tas besar dengan aroma darah. Salah satunya aku. Jika ada yang
mengetuk-ngetuk pintumu malam nanti. Siapkah kamu?
Sara Fiza
Di ruang tamu
rumah malam itu
0 comments:
Post a Comment