Thursday, May 12, 2016

BERTAMU


            Siapa yang pernah siap menghadapi seorang teman—atau bahkan siapapun—bertamu dengan penuh darah diseluruh tubuhnya? Di hadapanku, ia ada. Mungkin aku terlalu berlebihan. Tidak seluruhnya. Wajahnya tidak penuh darah, hanya darah kering di sisi pelipisnya. Tapi selain itu aku tidak mengada-ngada. Badannya yang berbalut kaus dan rok bunga-bunga selutut memang penuh merah. Matanya kosong namun liar melirik sana sini. Kemudian menatapku dengan tatapan memelas. Giginya bergemerutuk, kedua tangannya menggenggam kuat sebuah tas besar hitam bercampur merah pekat. Bau anyir darah menguar kuat dari tas itu dan badannya. Aku menahan pekik dengan kedua tanganku. Napasku tertahan. Aku menariknya masuk melewati pintu dengan mata awas dan gerak cepat.
Entah bagaimana bentuknya tatapanku dan ekspresi wajahku ini tertangkap oleh mata kosongnya. Tubuhku menjelma kaku. Kemudian napasku patah-patah. Apa yang harus kulakukan?  
“Ra, bantu aku!” airmatanya luruh.
            Aku masih kaku.
Siapa yang pernah siap menghadapi seorang teman yang datang dengan darah di seluruh tubuhnya?
***
            Aku tidak pernah setuju dengan orang-orang yang selalu menakuti malam dan gelap. Tapi, nampaknya malam ini aku harus setuju dengan orang-orang yang takut akan malam. Malam ini, ketika pemukiman sudah benar-benar senyap. Rambut-rambut halus ditubuhku meremang. Malam ini temanku sendiri menyeret sebuah tas besar kedalam rumahku. Lantai putihku kini berbalut merah darah.
Ia masih terisak sambil terus berkata, “Bantu aku, Ra”
“A.. ad. ada apa? Apa yang terjadi, Wi?” aku mulai memberanikan diriku bertanya setelah mendudukan Dewi pada kursi kayu di ruang tamu. Butuh keberanian untuk mendudukan seseorang penuh darah di rumah yang hanya tinggal aku seorang diri. Tapi, otakku terlalu beku untuk memikirkan hal lain.
Ia masih terisak.
Sambil menunggu jawabannya. Aku mengatur napasku, juga mengatur kisruh dalam ruang-ruang kepalaku. Kisruhkah juga pikiranmu, Wi?
“Aku kena kutukan, Ra!” Dewi kemudian berkata dengan suara yang begitu pilu. Badan ringkihnya berguncang-guncang.
Mataku melebar. Sesekali aku melirik pada tas besar hitam yang Dewi bawa. Noda darah merah tua terlihat merembesi tasnya.  Kebingungan—lebih tepatnya ketakutan—telah meringkusku seketika. “Kutukan? Maksudmu, Wi?”
Aku berharap aku tidak bertanya padanya, jika ternyata jawabannya akan begitu semengerikan ini, “Aku dirasuki, Ra! Aku sepertinya membunuh seseorang. Aku tidak tahu siapa. Aku tidak ingat. Tapi ketika aku sadar. Aku sudah berdiri memegang golok penuh darah. Ada sesosok mayat di hadapanku sudah terpotong-potong…” Ia membekap mulutnya sambil terus sesenggukan.
“Aku berteriak. Tapi tidak ada seorangpun di rumahku. Aku takut, Ra. Aku takut,” Matanya makin membelalak. Kedua tangannya mendekap dirinya sendiri. Mencoba untuk menahan guncangan tubuhnya yang semakin menjadi-jadi, “Aku bingung. Aku.. Aku.. Aku menyimpan potongan tubuh mayat itu kedalam tas. Aku bingung harus kemana. Tanpa sadar aku sudah sampai di rumahmu dengan membawa tas ini. tolong aku! Apa yang harus aku lakukan! Jangan laporkan aku! Tolong! Aku bukan pembunuh”
Ia mulai berteriak histeris dan begitu memilukan. Aku menutup mulutku. Kemudian tidak sadar tubuhku ikut berguncang hebat. Air mataku kemudian mengalir. Aku mengunci Dewi dalam dekapanku takut-takut. Satu sisi hatiku berteriak segera kabur dan menjauhi rumah itu, satu sisi lainnya tidak ingin meninggalkan Dewi yang kebingungan dan ketakutan. Entah mana yang harus aku percaya.
Mulut yang sedari tadi kusumpal diam, entah bagaimana kemudian mengeluarkan suara penuh getar, “Wi, mungkin kamu bukan kerasukan. Mungkin ini tentang jiwamu. Kamu mungkin sudah benar-benar membunuh.”Aku teringat kasus-kasus kejiwaan di film-film. Kepribadian ganda, sleep disorder, dan kasus lainnya. Tidak ada lagi logika selain itu. Terlebih logika kerasukan yang entah dari mana datangnya.
“Maafkan aku, Wi. Kita harus segera lapor polisi. Tas mayat ini harus segera disingkirkan.” Aku masih memeluknya takut-takut. Berharap ia tenang dan tidak menggila disini. Aku tidak bisa menerima mayat dan pembunuhnya begitu saja di rumah, kan? Sekalipun itu Dewi. Ini harus segera dilaporkan, bukan? Pikiranku terus kisruh. Jantungku berdebum begitu keras. Kemudian aku merasakan tubuh dewi yang berhenti berguncang seketika. Ia melepaskan diri dari dekapanku dan menatapku dengan tatapan tombak. Aku beku.
****
Malam itu bahkan benda langit pun ragu menyaksikan suasana pilu di bawahnya. Seorang anak perempuan dengan rok bunga-bunga kini menyeret dua tas besar dengan aroma darah melewati jalan aspal di tengah pemukiman yang sepi—yang orang-orangnya sudah terlelap, yang petugas rondanya sedang sibuk tidur atau mungkin tertutup pandangannya oleh asap-asap rokok dan kartu-kartu remi.
Wajah Dewi—perempuan itu—begitu pucat seolah-olah cahaya wajahnya telah dicabut paksa. Mungkin bukan karena darah di sekujur tubuhnya, atau kemungkinan bahwa dirinya telah memotong-motong tubuh manusia. Tapi, mungkin karena tidak ada yang mau percaya pada dirinya. Bahkan temannya sendiri. Bahkan dirinya sendiri.  
Perempuan dengan rok bunga-bunga merah pekat itu menyeret dua tas besar aroma darah, salah satunya adalah mayat dari rumah yang tadi ia datangi, menuju rumah lain.
Tidak ada yang pernah siap menyambut teman yang penuh darah. Tapi, bukankah selalu ada tempat bagi tiap jiwa, Pikir perempuan itu.
Siapa yang pernah siap menghadapi seorang teman yang datang dengan penuh darah diseluruh tubuhnya? Kali ini ditambah dua tas besar dengan aroma darah. Salah satunya aku. Jika ada yang mengetuk-ngetuk pintumu malam nanti. Siapkah kamu?


Sara Fiza

Di ruang tamu rumah malam itu

0 comments:

Post a Comment